Penerapan K-13 Disetop, M Nuh Puasa Baca Koran

Penerapan K-13 Disetop, M Nuh Puasa Baca Koran. Foto Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos/JPNN.com
Penerapan K-13 Disetop, M Nuh Puasa Baca Koran. Foto Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos/JPNN.com

SURABAYA – Ibarat bocah yang sedang belajar berjalan, namun malah dibunuh. Seperti itulah analogi yang menggambarkan perasaan mantan Mendikbud M Nuh soal Kurikulum 2013 (K-13) yang penerapannya dihentikan di sejumlah sekolah. Dia merasa begitu karena K-13 diluncurkan ketika masa kepemimpinannya.
’’Saya sampai puasa membaca koran dan menonton berita di TV. Menjaga hati. Tapi, kalau ada yang ingin berkonsultasi, saya tetap melayani,’’ ucapnya saat ditemui di Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Kamis (11/12), sebelum mengikuti rapat sebagai ketua Yayasan RSI (Yarsis) itu.
Nuh merasa tak habis pikir, dalam sebulan kepemimpinan Mendikbud Anies Baswedan sudah mengambil keputusan besar tersebut. Dia pun menganalisis kira-kira apa yang melatarbelakangi hal itu. Mantan rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu sampai membuat bahan presentasi 47 halaman mengenai K-13.
Nuh menyebut, kemungkinan pertama keputusan Anies itu dilandasi anggapan bahwa substansi K-13 adalah salah. ”Tapi, bila salah, K-13 tidak mungkin diterapkan pada 6.221 sekolah yang sudah melaksanakannya selama tiga semester. Maka, kemungkinan itu gugur,” katanya.
Alasan kedua, persiapan secara teknis dan logistik untuk semester depan belum rampung. Nuh belum tahu kenapa keputusan itu bisa dibuat dengan begitu cepat. Yang jelas, lebih cepat keputusan itu dibuat daripada pembuatan K-13 yang memakan waktu lama. Menurut dia, banyak survei, perdebatan sengit, penelitian, dan observasi yang dilakukan timnya sebelum K-13 tersebut benar-benar diimplementasikan mulai tahun pelajaran 2013–2014.
Misalnya, berdasar survei yang dibuat Organization Economic Cooperation Development (OECD). Organisasi kerja sama dan pembangunan ekonomi dunia itu merilis data kemampuan orang Indonesia di bidang sains dan matematika pada 2009 dan 2012 tidak mengalami perubahan signifikan. Kemampuan paling tinggi adalah bilangan desimal, menangani persen, pecahan, serta menalar dan membuat interpretasi sederhana. ’’Tidak bisa disalahkan karena Kurikulum 2006 tidak mengajarkan materi yang tingkat kesulitannya lebih tinggi,’’ ucap Nuh.
Bila tidak berubah, bangsa Indonesia bisa tertinggal jauh dari negara lain. Banyak aspek dalam K-13 yang sudah diterapkan lama oleh sekolah-sekolah swasta maju dalam negeri yang memiliki konsep full day school. Yang paling utama adalah sistem belajar yang berorientasi pada murid, bukan pada guru. Hasilnya, kualitas mereka baik. ’’Anak-anak Indonesia ini sudah mau mencicipi rasanya K-13, tapi hanya diberi baunya,’’ terangnya.
Yang lebih penting, lanjut dia, masyarakat harus menyadari ada beberapa kesalahan persepsi yang dituangkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Salah satunya adalah kesalahan dalam pemahaman kompetensi keterampilan. Dalam Kurikulum 2006, keterampilan hanya dipahami sebagai prakarya yang akhirnya diterjemahkan dalam pelajaran bernama keterampilan. Padahal, keterampilan sejatinya sangat luas. Mencakup keterampilan berpikir, keterampilan memahami pengetahuan, dan banyak lainnya. ”Banyak sekali kekurangan Kurikulum 2006, terlalu banyak bila diungkapkan satu per satu,’’ paparnya.
Berbagai kritik miring seputar K-13 sudah biasa diterima Nuh. Hanya, menurut dia, K-13 itu sudah sesuai dengan model pendidikan yang dibuat Pahlawan Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. ’’Pesan Ki Hajar, pendidikan adalah niteni, nironi, nambahi. Itu kalau bahasa anak sekarang adalah observasi, kritisi, dan nambahi. Itu,’’ ucapnya.
Pikiran tersebut, kata dia, sejalan dengan K-13 yang mempunyai metode mengamati, menanyakan, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Selain membeberkan hasil analisisnya tersebut, Nuh meminta pemerintah melakukan evaluasi. Mulai segi substansi hingga implementasi.
Dia juga menganjurkan pemerintah untuk menghindari kebijakan yang berdampak negatif. Misalnya, bila ada sekolah yang ingin kembali ke Kurikulum 2006, harus dipikirkan secara matang bagaimana pengadaan bukunya.
Bila memang harus kembali ke Kurikulum 2006, Nuh menyarankan tidak mengubahnya di tengah tahun pelajaran sekarang. Secara akademik, hal itu sulit dinalar untuk dilakukan. ’’Jadi bingung anak-anak kalau awalnya dapat tematik, lalu diganti per pelajaran seperti dulu,’’ ucapnya.
Setidaknya pemerintahan yang sekarang bisa belajar dari pengalaman. Misalnya, saat Mahkamah Konstitusi menghapus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Meskipun sifat putusan itu final dan mengikat (artinya harus segera dieksekusi), RSBI baru dihentikan sampai tahun pelajaran baru. (ina/c7/ayi)