Ushul Fiqh

Ushul Fiqh 1 (Definisi dan Faedah Ushul Fiqh)

03012015
Sesungguhnya Allah telah menjadikan syari’at Islam sebagai penutup segala syariat. Di antara keistimewaan syariat Islam ini adalah kesempurnaannya dan kecakupannya terhadap solusi dari seluruh masalah, serta manfaatnya untuk setiap tempat dan zaman.
Walaupun terdapat masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang baru dengan berkembangnya tempat dan zaman, syariat Islam telah mencakup dan memberi solusinya. Yaitu dengan bersandar kepada hukum-hukum dan kaidah-kaidah sebagai asas yang umum.
Allah ta’ala berfirman bahwa Al Qur’an telah menjelaskan segalannya:
“dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS An Nahl : 89)
Para ulama telah meletakkan kaidah dan asas untuk memahami nash Al Qur’an dan As Sunnah serta cara istinbath (menyimpulkan hukum) dari dalil-dalil yang ada. Kaidah dan asas ini diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta ilmu bahasa arab, para ulama menamakannya “Ushul Fiqh”.
Karena pentingnya pembahasan ushul fiqh ini, kami akan berusaha menerjemahkan matan “Ushul min Ilmi Ushul” karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘ Utsaimin, secara berangsur. Saya mempersilahkan jika ada teman-teman yang ingin diskusi, dan saya dengan senang hati jika para ustadz atau tholabul ilmi di sini memberi ilmu tambahan, ataupun mengoreksi.
Berikut adalah part 1 dari kitab matan Ushul min Ilmi Ushul.
Definisinya:
Ushul fiqh dapat didefinisikan dari dua sisi,
Pertama:
Ditinjau dari sisi kedua kata (yang menyusunnya), yaitu kata ushul dan kata fiqh.
Adapun ushul (أصول), merupakan jama’ dari ashl (أصل), yaitu apa-apa yang menjadi pondasi bagi yang lainnya. Oleh karena itu, ashl jidar (أصل الجدار) artinya pondasi dinding, dan ashl syajarah (أصل الشجرة) artinya akar pohon.
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS Ibrahim : 24).
Sementara fiqh, secara bahasa artinya pemahaman, berdasarkan firman Allah ta’ala, “dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka memahami perkataanku” (QS Thoha: 27-28)
Fiqh secara istilah artinya pengenalan terhadap hukum-hukum syar’i, yang sifatnya amaliyah, dengan dalil-dalilnya yang detail.
Maksud perkataan kami “pengenalan” yaitu secara ilmu (yakin) dan zhon (dugaan), karena pengenalan terhadap hukum-hukum fiqh terkadang menyakinkan dan terkadang bersifat dugaan sebagaimana yang terdapat di banyak masalah-masalah fiqh.
Maksud perkataan kami “hukum-hukum syar’i” yaitu hukum-hukum yang didatangkan oleh syari’at seperti wajib dan haram, maka tidak tercakup hukum-hukum akal (logika) seperti mengetahui bahwa keseluruhan itu lebih besar dari sebagian, dan juga tidak mencakup hukum-hukum kebiasaan, seperti mengetahui bahwa gerimis biasanya akan turun di malam yang dingin jika cuacanya cerah.
Maksud perkataan kami “amaliyah” adalah perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan keyakinan (akidah), contoh “amaliyah” tersebut yaitu sholat dan zakat, maka fiqh tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan seperti mentauhidkan Allah, ataupun mengenal nama dan sifat-Nya, yang demikian itu tidak dinamakan fiqh secara istilah.
Maksud perkataan kami “dengan dalil-dalilnya yang detail” adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang detail. Berbeda dengan ushul fiqh, karena pembahasan di dalam ushul fiqh tersebut hanyalah dalil-dalil yang global.
Kedua:
Ditinjau dari sisi nama untuk cabang ilmu tertentu, maka ushul fiqh tersebut didefinisikan:
“ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang global dan cara menggunakannya serta menentukan keadaan dari penentu hukum (mujtahid)”
Maksud perkataan kami “global” adalah kaidah-kaidah umum seperti perkataan “perintah menuntut kewajiban”, “larangan menuntut keharaman”, “benar berkonsekuensi terlaksana”. Ushul fiqh tidak membahas dalil-dalil yang detail, dan dalil-dalil yang detail tersebut tidak disebutkan di dalamnya melainkan sebagai contoh terhadap suatu kaidah (umum).
Maksud perkataan kami “dan cara menggunakannya” adalah mengenal cara menentukan hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya dari umum dan khusus, mutlak dan muqoyyad, nasikh dan mansukh, dan lain-lain. Dengan mengenal ushul fiqh maka dapat ditentukan hukum-hukum dari dalil-dalil fiqh.
Maksud perkataan kami “keadaan penentu hukum” yaitu mengenal keadaan mujtahid, dinamakan penentu hukum karena dia dapat menentukan sendiri hukum-hukum dari dalil-dalilnya sehinggga sampai ke tingkatan ijtihad. Mengenal mujtahid dan syarat-syarat ijtihad serta hukumnya dan semisalnya dibahas di dalam ushul fiqh.
Faidah Ushul Fiqh:
Sesungguhnya ushul fiqh adalah ilmu yang mulia kedudukannya, sangat penting, dan yang besar faedahnya, faedahnya adalah mengokohkan kemampuan bagi mujtahid untuk menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya di atas asas yang benar.
Orang yang pertama kali menjadikan ushul fiqh sebagai cabang ilmu yang tersendiri adalah Imam Asy Syafi’i Muhammad bin Idris –rahimahullah-. Kemudian diikuti oleh para ulama, mereka menulis tentang ushul fiqh dengan tulisan yang beraneka ragam, ada yang acak ada yang teratur, ada yang ringkas ada yang panjang, sampai ushul fiqh ini menjadi cabang ilmu yang tersendiri, yang memiliki keistimewaan.
Diterjemahkan oleh

Ushul Fiqh 2 (الأحكام)


Telah kita pelajari mengenai definisi ushul fiqh dan faedahnya pada pembahasan sebelumnya (ushul fiqh 1).
Sekarang kita masuki pelajaran baru, yaitu tentang الأحكام (hukum). Berikut cuplikannya::)
Definisi:
Ahkam merupakan jama’ dari hukmu (حكم) secara bahasa artinya ketetapan (hukum).
Secara istilah adalah perkara-perkara yang ditetapkan oleh penetap syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang-orang yang dibebani) berupa tuntutan, pilihan, atau wadh’i (tanda-tanda)
Maksud perkataan kami “penetap syariat” adalah Al Qur’an dan As Sunnah.
Maksud berkataan kami “yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf” adalah yang berkaitan dengan perkara-perkara yang mencakup amalan-amalan mereka, baik perkataan ataupun perbuatan, yang sifatya melaksanakan ataupun meninggalkan. Maka hukum tidak mencakup perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan, dan keyakinan tersebut tidak dinamakan hukum secara istilah ini.
Maksud perkataan kami “mukallaf” adalah orang-orang yang dibebani (syariat), tidak termasuk anak kecil dan orang gila.
Maksud kami “tuntutan” adalah yang bersifat perintah dan larangan, baik berupa keharusan ataupun keutamaan.
Maksud kami “pilihan” adalah yang sifatnya mubah (boleh).
Maksud kami “wadh’i (tanda-tanda) adalah yang menunjukkan kepada shahih (benar) atau fasid (rusak) nya suatu amalan, atau yang lainnya yang ditetapkan oleh syariat berupa tanda-tanda dan sifat-sifat yang menunjukkan pada terlaksana atau batalnya (suatu amalan).
Pembagian Hukum Syar’i:
Hukum syar’i terdiri menjadi 2 jenis, yaitu hukum taklifiyyah (pembebanan) dan wadh’iyah (tanda-tanda).
Hukum taklifiyyah ada 5:
1. Wajib
Secara bahasa artinya jatuh. Secara istilah, wajib adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang harus dilaksanakan, contohnya sholat lima waktu.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus dilaksanakan” tidak memasukkan mandub (sunnah).
Wajib adalah yang diberi pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan berhak mendapat azab bagi yang meninggalkannya.
Wajib juga dinamakan fardhu, faridhoh, atau lazim.
2. Mandub (Sunnah)
Secara bahasa artinya yang diseru. Secara istilah adalah perkara-perkara yang diperintahkan oleh syariat yang tidak mesti dilaksanakan, contohnya sholat sunnah rawatib.
Perkataan kami “perkara-perkara yang diperintahkan” tidak memasukkan haram, makruh, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti dilaksanakan” tidak memasukkan wajib.
Mandub (sunnah) adalah yang di beri pahala orang yang melakukannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan tidak diazab bagi yang meninggalkannya.
3. Haram
Secara bahasa artinya yang dilarang. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang harus ditinggalkan, contohnya durhaka kepada orangtua.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang harus ditinggalkan” tidak memasukkan makruh.
Haram adalah yang diberi pahala orang yang meningggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan berhak mendapat azab bagi yang melakukannya.
4. Makruh
Secara bahasa artinya yang dibenci. Secara istilah adalah perkara-perkara yang dilarang oleh syariat yang tidak mesti ditinggalkan, contohnya mengambil dan memberi sesuatu dengan tangan kiri.
Perkataan kami “perkara-perkara yang dilarang” tidak memasukkan wajib, mandub, dan mubah.
Perkataan kami “yang tidak mesti ditinggalkan” tidak memasukkan haram.
Makruh adalah yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah, dan tidak mendapat azab bagi yang melakukannya.
5. Mubah (boleh)
Secara bahasa artinya yang diizinkan. Secara istilah adalah perkara-perkara yang tidak ada kaitannya dengan perintah dan larangan secara zatnya, contohnya makan di malam Bulan Ramadhan.
Perkataan kami “yang tidak ada kaitannya dengan perintah” tidak memasukkan wajib dan mandub.
Perkataan kami “dan larangan” tidak memasukkan haram dan makruh.
Perkataan kami “secara zatnya” yaitu jika seandainya hal tersebut menjadi wasilah (perantara) bagi perkara wajib atau menjadi wasilah (perantara) bagi perkara haram, maka hal tersebut mempunyai hukum sesuai dengan perkara yang diwasilahkannya. Akan tetapi, tidak mengeluarkannya dari hukum mubah secara asal.
Perkara mubah tersebut selama sifat masih mubah, maka tidak berkonsekuensi mendapat pahala atau azab.
Mubah juga dinamakan halal atau boleh.
InsyaAllah bersambung ke part 3 : hukum-hukum wadh’iyah (الأحكام الوضعية).
Pertanyaan untuk dijawab sendiri:
1. Mengapa ahkam (hukum) dibahas di dalam ushul fiqh?
2. Apa definisi hukum secara bahasa dan istilah? jelaskan!
3. Sebutkan dua jenis hukum syar’i!
4. Apa definisi hukum taklifiyyah? dan jelaskan perinciannya!
Nantikan pembahasan tentang hukum wadh’iyah dan bedanya dengan hukum taklifiyyah.
Diterjemahkan oleh Yoad Nazriga S,
dari kitab Ushul min Ilmi Ushul karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin -rahimahullah-

Ushul Fiqh 3 (الأحكام الوضعية)


Telah kita pelajari dalam pembahasan sebelumnya mengenai hukum dan definisinya, serta salah satu jenis hukum yaitu hukum taklifiyyah.
Hukum terbagi menjadi 2 jenis:
1. Hukum taklifiyyah
Telah dibahas pada ushul fiqh 2
2. Hukum Wadhiyyah
Hukum wadh’iyyah (الوضعية) adalah hukum yang ditetapkan oleh syariat berupa tanda-tanda terhadap ditetapkannya, atau diabaikannya, atau terlaksananya, atau batalnya (suatu amalan).
Diantara hukum wadh’iyyah: Shahih (benar) dan fasid (batal).
1. Shahih
Secara bahasa artinya bebas dari penyakit. Secara istilah adalah perkara-perkara yang menimbulkan pengaruh dari perbuatannya, baik dalam ibadah, ataupun akad (muamalah).
Shahih dalam ibadah adalah yang membebaskan tanggungan dan menggugurkan tuntutan.
Shahih dalam akad adalah yang menimbulkan pengaruh atas adanya akad itu, seperti diperolehnya kepemilikan atas akad jual beli.
Hanyalah dikatakan shahih jika sempurna syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya.
Contoh (shahih) dalam ibadah: melakukan shalat pada waktunya dengan syarat-syarat, rukun-rukun, dan kewajiban-kewajiban yang sempurna.
Contohnya dalam akad: akad jual-beli dengan sempurnanya syarat-syarat dan tidak adanya penghalang.
Jika salah satu dari syarat tidak terpenuhi atau adanya salah satu penghalang, maka tidak dikatakan shahih.
Contoh tidak terpenuhinya syarat dalam ibadah: melakukan sholat tanpa thaharah (bersuci).
Contoh tidak terpenuhinya syarat dalam akad: menjual barang yang bukan miliknya.
Contoh adanya penghalang dalam ibadah: seseorang melakukan shalat sunnah yang mutlak di waktu terlarang.
Contoh adanya penghalang dalam akad: menjual sesuatu ketika azan shalat jum’at yang kedua telah berkumandang.
2. Fasid (batal)
Secara bahasa artinya yang lenyap karena hilang atau karena binasa. Secara istilah adalah perkara-perkara yang tidak menimbulkan pengaruh dari perbuatannya, baik dalam ibadah atau akad.
Fasid dalam ibadah adalah apa-apa yang tidak membebaskan tanggungan dan tidak menggugurkan tuntutan. Contohnya adalah melakukan shalat sebelum waktunya.
Fasid dalam akad adalah apa-apa yang tidak menimbulkan pengaruh dari akadnya. Contohnya adalah menjual barang yang tidak diketahui secara jelas.
Seluruh yang fasid dalam ibadah dan akad hukumnya haram, karena menyelisihi ketetapan Allah, dan mengabaikan ayat-ayatnya, dan karena nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengingkari orang yang mensyaratkan sesuatu yang tidak ada di kitabullah.
Fasid dan batil bermakna sama kecuali dalam dua pembahasan:
* Pertama, dalam berihram saat haji, para ulama membedakan keduanya. Istilah fasid digunakan untuk perbuatan hubungan intim oleh orang yang berihram sebelum tahallul pertama, dan istilah batil untuk perbuatan keluarnya (murtadnya) seseorang dari islam (saat berhaji).
* Kedua, dalam nikah, para ulama membedakan keduanya. Istilah fasid digunakan untuk permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama terhadap fasidnya, seperti nikah tanpa wali, adapun istilah batil digunakan untuk permasalahan-permasalah yang disepakati (ijma’), seperti batilnya nikah dengan wanita yang berada dalam masa ‘iddah.
Pertanyaan untuk dijawab sendiri:
1. Jelaskan definisi hukum taklifiyyah dan wadh’iyyah!
2. Bagaimana suatu amalan dapat dikatakan shahih? Berikan contoh-contohnya dalam ibadah dan akad (muamalah)!
3. Apa saja penyebab suatu amalan dikatakan tidak shahih? Berikan contoh-contohnya dalam ibadah dan akad (muamalah)!
3. Apa hukum mengerjakan suatu hal yang fasid dalam ibadah? Mengapa?
4. Pada pembahasan apa dibedakan antara istilah fasid dan batil?
Nantikan pembahasan ushul fiqh 4 (العلم و الكلام), yang tentunya akan semakin menarik. InsyaAllah.
Diterjemahkan oleh Yoad Nazriga S,
dari kitab Ushul min Ilmi Ushul karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin -rahimahullah-

Ushul Fiqh 4 (العلم و الكلام)

02012015
Telah kita pelajari pada Ushul Fiqh 1 , bahwa fiqh merupakan pengenalan hukum-hukum syari’at, dan pengelanan tersebut bisa berupa ilmu (yakin) atau zhon (dugaan kuat). Untuk lebih memahami ilmu dan zhon, maka pada Ushul Fiqh 4 ini akan membahas secara khusus tentang ilmu dan zhon tersebut.
Ilmu (العلم)
Definisi Ilmu
Ilmu adalah mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya dengan pengetahuan yang pasti.
Seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar dibandingkan sebagian (yang diketahui dari akal), dan mengetahui bahwa niat merupakan syarat di dalam ibadah (yang diketahui dari syariat).
* Perkataan kami “mengetahui sesuatu”, tidak memasukkan jahl basith (bodoh biasa) yaitu tidak mengetahui secara umum, seperti jika ditanya kapan terjadinya perang badar, kemudian dia menjawab, “Saya tidak tahu”.
* Perkataan kami “sesuai kenyataan” tidak memasukkan jahl murokkab (bodoh kuadrat) yaitu mengetahui sesuatu yang menyelisihi kenyataannya, seperti jika seseorang ditanya kapan terjadinya perang badar, dia menjawab, “di tahun ketiga hijriyah” (dengan yakinnya).
* Perkataan kami “dengan pengetahuan yang pasti” tidak memasukkan mengetahui sesuatu yang tidak pasti, dari sisi menurutnya ada kemungkian lain yang tidak sesuai dengan yang diketahuinya, maka ini tidak dinamakan ilmu.
Kemudian, jika dia menguatkan salah satu dari dua kemungkinan, maka yang dikuatkannya dinamakan zhon dan yang dilemahkan dinamakan wahm, jika sama kemungkinannya (dia tidak bisa menguatkan salah satunya) maka itu dinamakan syak (ragu).
Dengan demikian, pengetahuan terhadap sesuatu bisa berupa:
1. Ilmu, yaitu mengetahui sesuatu sesuai kenyataannya dengan pengetahuan yang pasti.
2. Jahl basith (bodoh biasa), yaitu tidak mengetahui secara umum.
3. Jahl murokkab (bodoh kuadrat), yaitu mengetahui sesuatu yang menyelisihi kenyataannya.
4. Zhon, yaitu mengetahui sesuatu dengan kemungkinan yang kuat.
5. Wahm, yaitu mengetahui sesuatu dengan kemungkinan yang lemah.
6. Syak (ragu), yaitu mengetahui sesuai dengan kemungkinan yang sama (antara kuat dan lemah).
Pembagian Ilmu
Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu dhoruriy dan nazhoriy:
1. Dhoruriy yaitu pengetahuan terhadap sesuatu yang pasti dari sisi tidak dibutuhkannya penelitian dan pencarian dalil (bukti), seperti mengilmui bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada sebagian, dan api itu panas, serta Muhammad adalah rasulullah (bagi kaum muslimin).
2. Nazhoriy, yaitu pengetahuan yang membutuhkan kepada penelitian dan pencarian dalil, seperti mengilmui wajibnya niat di dalam sholat.
Kalam (الكلام)
Definisi Kalam
Kalam secara bahasa adalah setiap lafadz yang digunakan untuk suatu makna (baik berupa kata atau kalimat).
Secara istilah, adalah kalimat, yaitu lafadz yang mengandung faedah. Seperti, “Allah adalah rabb kami dan Muhammad adalah nabi kami”.
Sedikit-dikitnya, kalam harus tersusun dari :
1. dua isim (kata benda),
contoh: محمدٌ رسولُ الله (Muhammad adalah rasulllah).
2. fi’il (kata kerja) dan isim (kata benda),
contoh: قام أحْمَدُ (Ahmad berdiri).
Satuan kalam (kalimat) adalah kata, yaitu lafadz yang digunakan untuk satu makna terdiri dari isim, fi’il, atau huruf.
1. Isim (kata benda)
yaitu kata yang menunjukkan makna tersendiri tanpa dikaitkan dengan waktu, ada 3 jenisnya:
* yang memberikan makna umum, seperti isim maushul.
* yang memberikan makna mutlak, seperti isim nakirah dalam konteks kalimat positif.
* yang memberikan makna khusus seperti nama.
2. Fi’il
yaitu kata yang menunjukkan makna tersendiri dan dikaitkan keadaannya dengan salah satu dari tiga waktu.
* waktu lampau (fi’il madhi), seperti فَـهِـمَ (telah memahami),
* waktu sekarang (fi’il mudhori’), seperti يَـفْـهَـمُ (sedang memahami).
* waktu akan datang yang dituntut dari suatu perintah (fi’il amr), seperti اِفْـهَـمْ (pahamilah!).
Fi’il memberikan makna mutlak dan tidak memberi makna umum.
3. Huruf
yaitu kata yang menunjukkan pada makna jika disandingkan dengan selainnya. Diantaranya:
* huruf وَ (dan), merupakan huruf ‘athof (kata sambung), memberikan makna kesamaan di dalam hukum, dan tidak menuntut tertib (urutan), tidak juga menafikan tertib (urutan) kecuali jika ada dalil.”
* huruf َف (maka), merupakan huruf ‘athof (kata sambung), memberikan makna kesamaan di dalam hukum, serta menuntut tertib dan urutan, dan bisa juga menjadi fa’ sababiyyah yang memberikan makna sebab.
* huruf لِ (lam jar), memiliki beberapa makna, diantaranya untuk menunjukkan sebab (li ta’til), menunjukkan kepemilikan (tamlik), dan menunjukkan kebolehan (ibahah).
* huruf على ( ‘ala jar), memiliki beberapa makna, diantaranya menunjukkan wakna wajib.
(Pembahasan mengenai kalam ini secara mendetail dipelajari di ilmu nahwu, bagi yang ingin belajar ilmu nahwu, silakan bergabung di : Belajar Bahasa Arab)
Nantikan Ushul Fiqh 5 (أقسام الكلام)
Pertanyaan:
1. Apa definisi ilmu?
2. Jelaskan perbedaan antara jahl basith dengan jahl murokkab.
3. Apa itu zhon? dan apa bedanya dengan syak dan wahm?
4. Sebutkan pembagian ilmu dengan masing-masing contohnya!
5. Apa pengertian kalam secara bahasa dan istilah?
6. Apa saja jenis kata? Jelaskan maksudnya dan sebutkan contohnya!
Link-link Sebelumnya:
Diterjemahkan oleh Yoad Nazriga S,
dari kitab Ushul min Ilmi Ushul karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin -rahimahullah-